Terlahir sebagai anak yang normal tanpa kekurangan apapun merupakan dambaan setiap anak. Namun terkadang takdir berkata lain, beberapa di antara kita memiliki keadaan spesial. Salah satunya adalah penyandang disabilitas intelektual atau yang biasa disebut tuna grahita.
Seorang gadis cantik berusia 29 tahun, Suparni Yati, telah membuktikan kepada dunia bahwa keterbatasannya tidak menghalanginya untuk tetap dapat berprestasi. Tak tanggung-tanggung, ia telah berhasil mengharumkan nama Indonesia dalam ajang Asian Para Games 2018 dalam cabang olahraga tolak peluru klasifikasi F20 atau keterbatasan intelektual dengan meraih medali emas.
Seperti diketahui bahwa klasifikasi F20 adalah untuk atlet dengan IQ di bawah 75. Tak hanya itu, Parni, panggilan akrabnya, memecahkan rekor Asia dengan tolakan pelurunya yang mencapai 11,03 meter.
“Saya senang sekali. Prestasi ini buat mamak (ibu) dan saudara,” ungkap Parni seperti dikutip dari Kompas.com.
Itu adalah prestasi keduanya setelah sebelumnya, pada 2017, telah meraih medali emas pada ajang ASEAN Para Games 2017 yang digelar di Malaysia. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Orang tua mana yang tidak bangga dengan prestasi yang begitu hebatnya?
Prestasi hebat itu lahir dari sosok pribadi yang hebat, yang telah diasuh dengan hebat pula. Betapa tidak, tidak semua orang tua sanggup untuk mengasuh anak dengan baik sehingga membuat mereka berprestasi, apalagi anak dengan disabilitas intelektual.
Orang tua yang telah mendidiknya adalah orang tua yang perlu ditiru cara pengasuhannya. Meski kita tidak bisa menyamakan antara anak satu dengan lainnya, namun kita bisa meniru bagaimana orang tuanya memperlakukannya sehingga ia bisa menjadi pribadi yang tangguh seperti sekarang.
Bayangkan, seorang anak yang memiliki keterbatasan saja dapat menjadi sosok yang membanggakan, bagaimana dengan anak yang normal seperti pada umumnya? Seharusnya ia bisa berprestasi juga, jika memiliki orang tua yang selalu mendukungnya melalui pola asuh yang positif.
Namun satu hal yang perlu dipahami bersama, bahwa anak dengan disabilitas intelektual atau disabilitas apapun tidak layak untuk dihina dan dicemooh hanya karena kekurangannya. Karena pada dasarnya kita semua sama di mata Tuhan Sang Pencipta.
Alih-alih menerima cemoohan dan berpasrah pada keadaan, orang tua Parni justru mampu membuktikan bahwa anaknya yang berkebutuhan khusus mampu menorehkan prestasi yang membanggakan bangsa Indonesia. Meski dengan segala keterbatasan, seorang penjual tempe tersebut dapat membuktikannya kepada dunia.
Bukan fasilitas mewah yang dibutuhkan anak-anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Fasilitas memang dibutuhkan untuk menstimulasi anak-anak, namun itu bukan segalanya. Karena adanya fasilitas yang memadai dan mewah namun tidak ada kehadiran dan perhatian dari orang tuanya juga dapat menghambat tumbuh kembangnya.
Karena tumbuh kembang anak itu tidak hanya dilihat dari fisiknya saja, melainkan juga psikis sang anak. Anak yang bahagia diyakini dapat tumbuh dan berkembang lebih optimal ketimbang anak yang kurang mendapatkan kebahagiaan.
Pemenuhan emosi bagi anak adalah yang terpenting. Dengan ditambahkan ilmu parenting yang mumpuni dari orang tua, kasih sayang yang tulus yang diberikan tanpa adanya tuntutan, ini sudah bisa untuk melejitkan prestasi anak di masa depannya.
Anak yang tumbuh dengan bahagia dapat menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh saat ia dewasa kelak. Jadi, memang menemani tumbuh kembang anak pada masa kecilnya sangat berpengaruh terhadap pribadinya ketika dewasa kelak.
Apalagi, momentum tersebut tidak pernah dapat diulang. Maka dari itu orang tua perlu menyadari pentingnya momen tersebut dan dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin tanpa mengeluh dan menuntut. Termasuk saat memiliki anak yang spesial seperti Parni, penerimaan penuh dari orang tua sangat menentukan keberhasilannya dalam menstimulasi anak agar tumbuh kembangnya tetap optimal.
Seperti yang kita ketahui, anak disabilitas apalagi disabilitas intelektual akan mengalami ketertinggalan dalam tumbuh kembangnya karena beberapa keterbatasnnya tersebut. Sehingga orang tua yang telah menerima anaknya dengan sepenuh hati maka ia dapat mencurahkan kasih sayangnya dengan kesabaran yang berlipat dalam menemani tumbuh kembang si Kecil yang jelas tidaklah mudah.
Jika masyarakat sekitar dapat menghargai mereka yang mengalami disabilitas, maka akan lebih mudah bagi orang tua untuk dapat menerima anaknya sepenuh hati. Dengan begitu maka secara tidak langsung masyarakat telah membantu anak disabilitas untuk tetap tumbuh dan berkembang secara optimal meski dengan keterbatasan yang ia miliki.