Tumbuh Kembang – Fokus pemerintah dalam tumbuh kembang anak, lebih kepada gizi sehingga stunting menjadi masalah yang cukup disoroti. Walaupun memang permasalahan anak akan bermunculan jika anak kekurangan gizi.
Namun ada hal lain yang tak kalah gentingnya, apalagi sejak pandemi melanda dunia, adalah speech delay atau keterlambatan bicara. Tidak banyak forum atau bahasan resmi yang fokus membahas speech delay ini.
Padahal ini masalah serius yang dapat mempengaruhi masa depan anak. Karena speech delay ini biasa terjadi pada golden period anak, di mana 1.000 hari pertama kehidupan anak menjadi masa yang penting untuk tumbuh kembang.
Menurut Dokter Spesialis Anak, dr. Dian Pratamastuti, anak yang sudah mengalami speech delay maka kemungkinan besar ke depannya akan ikut terlambat dalam hal apapun. Dan hal tersebut sudah ada hasil penelitiannya.
“Ingat, golden period itu masa perkembangan emas otak hanya di 1.000 hari pertama, dari janin dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Kalau anak ini speech delay bahkan melebihi usia 2 tahun, menurut penelitian, itu akan berpengaruh pada kecerdasan otaknya nanti,” ungkap dia.
Untuk itu, Simposium Nasional bertajuk ‘Membaca Fenomena Speech Delay: Pendekatan Multi Pihak’, yang digelar oleh Yayasan Akses Sehat bersama Generos pada 21-22 Mei 2022, menjadi pembuka kunci lebih lebar lagi tentang fokus tumbuh kembang anak.
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia, memang belum pernah diteliti secara luas. Diperoleh data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM, bahwa dari 1.125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13 persen anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa.
Di luar negeri, penelitian di Amerika Serikat melaporkan jumlah keterlambatan bicara dan bahasa anak umur 4,5 tahun, antara lima sampai delapan persen, dan keterlambatan melaporkan prevalensi antara 2,3 sampai 19 persen.
dr. Dian juga membenarkan bahwa kasus speech delay kian meningkat, berkaca dari para orang tua yang berkonsultasi padanya. “Ini diakibatkan pandemi yang membuat anak tidak bersosialisasi, dan orang tua ngasih gadget terus,” ujar dia dalam simposium tersebut.
Di Indonesia, prevalensi keterlambatan bicara pada anak prasekolah adalah antara lima hingga 10 persen. Keterlambatan bicara adalah masalah umum yang dapat mempengaruhi tiga sampai 10 persen anak-anak. Gangguan ini tiga sampai empat kali lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan.
Simposium ini penting, untuk membaca semesta speech delay sebagai fenomena medis, psikologis, dan sosial. Partisipan kegiatan ini juga berasal dari latar belakang dokter, ahli gizi, terapis, psikolog, dan komunitas parenting.
“Ini harus dikawal, karena kalau nggak dikawal, minimal dari kita. Kita perlu buat penjelasan dengan video tutorial agar lebih bisa dipahami. Saya berharap setelah kegiatan ini, bagaimana kita buatkan videonya,” ucap Terapis RSCM sekaligus Ketua DPP IKATWI, Waspada, S.Tr.Kes.
Dalam video tersebut bisa memaparkan seperti apa latihan motorik, gizi yang baik seperti apa, dan sebagainya, sehingga semua tampak real krema ada tutorialnya. Namun mengingat kemampuan setiap keluarga berbeda, perlu ada semacam terobosan.
Seperti kader Posyandu dan nakes Puskesmas yang kerap dananya terbatas, perlu semacam disiapkan flashdisk berisi file video yang bisa diputarkan bagi keluarga yang yang tidak memiliki handphone. Mendorong pemerintah untuk memberikan layanan internet yang layak juga harus dipantau.
“Dulu, internet itu bisa dibilang kebutuhan sekian. Tapi sekarang sudah seperti oksigen, siapa yang nggak butuh internet? Coba kita nggak pegang handphone sehari saja, nggak akan bisa. Ini sudah jadi kebutuhan primer, negara menjadi penjamin kebutuhan primer,” papar Waspada lagi.
Lalu agar lebih optimal dalam mengedukasi video tutorial tersebut, perwakilan Komunitas Preemie Warrior, Lydia Natasia, menyarankan Posyandu atau Puskesmas untuk menggandeng komunitas setempat. Apalagi ada yang sering menjumpai kader Posyandu atau nakes Puskesmas yang galak.
“Mungkin dari Puskesmas bisa gandeng komunitas lokal, untuk beri edukasi pada orang tua. Kita nggak bisa nyuruh orang tua baca, mereka lebih percaya omongan orang. Bidan belum tentu tahu, jadi ada komunitas yang mengedukasi,” ucap Lydia.
Tidak hanya ibu-ibu menengah ke bawah, rupanya ibu-ibu menengah ke atas juga butuh edukasi lebih karena mereka terlalu ‘up-to-date’. Seringkali mereka memberikan anak mereka makanan diet, yang seharusnya tidak dikonsumsi anak.
Misalnya, banyak ibu-ibu menengah atas yang vegetarian lalu memberikan anak-anaknya sayur terus tanpa protein hewani. Kemudian banyak juga yang menggunakan garam himalaya padahal itu minim yodium, sementara anak masih butuh yodium.
“Ternyata yang punya uang juga bermasalah. Ada yang diet gluten, padahal anaknya nggak kenapa-napa. Pemberian serat kalau memang dewasa bagus, tapi anak bukan miniatur orang dewasa. Kayak kacang-kacangan, itu anak kecil belum terlalu perlu,” papar Dokter Umum dan Konselor Laktasi, dr Deva Putriane.