Karena itulah orang tua kewalahan menghadapi balitanya yang cukup membuat dunia mereka menjadi roller coaster. Terutama sang bunda yang biasanya menghabiskan waktunya lebih lama dengan sang anak.
Saat anak berperilaku buruk, kita tidak bisa serta merta mengecap bahwa anak kita nakal. Anak-anak adalah makhluk yang sangat kompleks, namun belum memiliki kemampuan dalam mengungkapkan perasaannya.
Tahukah Ayah dan Bunda, perilaku buruk anak ini dapat dijelaskan secara ilmiah, loh!
Daftar Isi
Penyebab Perilaku Buruk
Ada beberapa hal penyebab anak menunjukkan tingkah yang menantang, di antaranya:
1. Kelaparan
Sering kali anak menunjukkan perilaku buruk saat kebutuhan nutrisi dan kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi. Kondisi kelaparan pada anak tidak sesederhana seperti pada orang dewasa.
Jika pada orang dewasa kebanyakan, tubuh orang dewasa telah menyimpan cadangan nutrisi yang cukup dalam tubuhnya. Sehingga saat kelaparan cadangan makanan tersebut bekerja untuk terus melanjutkan kinerja organ tubuh.
Namun ini tidak berlaku pada anak-anak, di mana pada masa tumbuh kembangnya ia membutuhkan nutrisi yang cukup.
Pada saat ini anak biasanya akan menunjukkan sikap-sikap yang membuat orang tuanya terpacu. Seperti diketahui, sama halnya dengan orang dewasa, anak-anak yang mengalami stres juga akan menunjukkan perilaku-perilaku yang tak terkontrol.
Jangankan anak-anak, bahkan orang dewasa pun juga mengalaminya, bukan?
2. Kelelahan
Anak yang kelelahan karena kurang tidur akan menunjukkan reaksi yang sama. Seperti yang dijelaskan Margot Sunderland dalam bukunya The Science of Parenting, tidur yang cukup dan berkualitas bagi anak dapat mengaktifkan hormon kimia oksitosin dan melatonin pada otaknya.
Hormon melatonin atau yang disebut juga sebagai hormon tidur yaitu hormon alami yang diproduksi oleh kelenjar pineal pada otak dan kemudian dilepaskan ke aliran darah.
Tubuh secara alami memproduksi hormon ini pada malam hari. Produksinya hormon akan terhenti ketika tubuh mendapatkan cahaya. Fungsi dari hormon ini adalah membantu mengatur ritme sirkadian dan meningkatkan kualitas tidur.
Sementara hormon oksitosin ini dikenal juga dengan nama hormon cinta. Hormon ini diproduksi oleh hipotalamus di otak.
Fungsi hormon oksitosin bekerja agar mampu meredakan rasa cemas yang berisiko terhadap tingginya tingkat stres. Dan hormon ini dapat diproduksi ketika seseorang mendapatkan tidur yang cukup.
3. Asupan Makanan Minim Gizi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketika anak kelaparan dapat merusak sel otaknya. Hal ini juga dapat disebabkan oleh salahnya asupan makanan yang diterima anak.
Terdapat riset yang menyebutkan bahwa saat anak memakan coklat dan permen dalam keadaan perut kosong, maka itu akan membuat kadar gula dalam darah meningkat drastis.
Akibatnya, karena kadar gula naik terlalu tinggi membuat insulin bekerja menurunkan kadar gula darah tersebut. Kemudian dalam waktu sekitar 30 menit kadar gula darah tersebut akan berkurang drastis sehingga menyebabkan anak mengalami hipoglikemia.
Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar glukosa (gula darah) berada di bawah normal. Ketika anak mengalami hipoglikemia maka ia akan menunjukkan perilaku agresif dan kecemasan hingga stres.
Sedangkan anak yang mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang dapat meningkatkan kadar serotonin dalam otak, sehingga mood mereka lebih stabil.
Selain itu, zat aditif atau zat tambahan pada makanan juga perlu dihindari. Hal itu karena tubuh dan otak anak masih dalam masa perkembangan, maka zat aditif ini bisa sangat berpengaruh.
Salah satunya adalah pemanis buatan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa asupan gula pada anak perlu dibatasi, maka untuk pemanis buatan ini perlu untuk sangat dihindari.
Pemanis buatan seperti aspartam, sukralosa dan sakarin, dapat mengurangi kadar triptofan, di mana triptofan ini sangat dibutuhkan otak untuk menghasilkan penstabil mood yaitu serotonin. Kekurangan triptofan pada anak dapat menyebabkan ia menjadi hiperaktif, loh!
Maka dari itu orang tua dianjurkan untuk selalu menjaga asupan makanan si Kecil. Selain untuk kebutuhan fisik tumbuh kembangnya juga berpengaruh terhadap kondisi psikis anak.
Tentu saja, anak yang bahagia dan terhindar dari stres juga dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih optimal, bukan?