Stimulasi tersebut dapat membantu mengoptimalkan tumbuh kembang si Kecil yang memiliki kondisi yang berbeda tersebut.
Namun orang tua perlu menyadari perbedaan tersebut sehingga orang tua memahami bahwa dalam memberikan stimulasi membutuhkan kesabaran ekstra.
Seperti diketahui, anak dengan disabilitas intelektual atau disebut juga sebagai retardasi mental memiliki kekurangan terkait fungsi intelektual dan fungsi adaptifnya.
Apa itu Disabilitas Intelektual?
Seperti dikutip dari WebMD, disabilitas intelektual yang dulu disebut keterbelakangan mental, ditandai dengan kecerdasan atau kemampuan mental di bawah rata-rata.
Dan juga kurangnya keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. Perlu diketahui istilah ‘keterbelakangan mental’ tidak lagi digunakan karena menyinggung dan bernada negatif.
Penyandang disabilitas intelektual dapat mempelajari keterampilan baru, namun mereka mempelajarinya lebih lambat.
Ada berbagai tingkat disabilitas intelektual, dari yang ringan hingga berat. Seseorang dengan disabilitas intelektual memiliki keterbatasan dalam dua bidang.
Area-area tersebut adalah:
- Fungsi intelektual. Juga dikenal sebagai IQ, ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk belajar, bernalar, membuat keputusan, dan memecahkan masalah.
- Perilaku adaptif. Ini adalah keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti kemampuan berkomunikasi secara efektif, berinteraksi dengan orang lain, dan menjaga diri sendiri.
IQ (intelligence quotient) diukur dengan tes IQ. IQ rata-rata orang pada umumnya adalah 100, dengan mayoritas orang mendapat skor antara 85 dan 115.
Seseorang dianggap disabilitas intelektual jika memiliki IQ kurang dari 70 hingga 75.
Hal-hal yang dapat diamati antara lain seberapa baik anak dapat makan atau berpakaian. Kemudian seberapa baik anak mampu berkomunikasi dan memahami orang lain.
Selain itu juga dapat dilihat bagaimana anak berinteraksi dengan keluarga, teman, dan anak-anak lain seusianya.
Maksimalkan Tumbuh Kembang Anak Disabilitas Intelektual
Seperti dikutip dari buku “Speech Delay dan Tumbuh Kembang Anak,” salah satu pegiat dan terapis disabilitas Rezky Achyana mengatakan dalam memberikan penanganan kepada anak disabilitas intelektual, kita harus melihat tujuh aspek tumbuh kembang anak.
Aspek tumbuh kembang yang pertama tentang motoriknya. Anak dengan down syndrome biasanya kakinya flat sehingga banyak anak down syndrome kesulitan untuk menyeimbangkan diri.
Oleh karena itu perlu dilatih secara motoriknya supaya bisa berjalan dengan baik, dan seimbang ketika berjalan.
Bisa dengan latihan–latihan berlari, menendang bola, bermain bola, melompat, dan memanjat. Latihan-latihan tersebut berfungsi untuk melatih motorik kasar pada anak.
Sedangkan untuk melatih motorik halusnya bisa melalui latihan memasang kancing baju, memasang tali sepatu, menulis, dan meremas slime.
Mereka juga dapat diajak untuk latihan mengangkat jempol, latihan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, melakukan gerak tangan isyarat janji, dan aktivitas lainnya yang menggunakan jari.
Aspek tumbuh kembang kedua yang perlu dilatih yaitu aspek kognitif atau intelektualnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa anak disabilitas intelektual memiliki IQ yang rendah, tergantung tingkat disabilitasnya.
Oleh karena itu perlu untuk melatih kognitifnya dengan treatment khusus serta dilakukan secara berulang.
Dalam melatih kognitif ini ditekankan agar anak dapat memahami sebab akibat. Yaitu dengan memberikan contoh-contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya jika haus maka apa yang harus diambil apakah air atau buah–buahan, jika lapar maka apa yang harus diambil apakah jus atau makanan.
Kemudian juga mengajarkan risiko yang dapat terjadi jika anak melakukan sesuatu. Seperti jika anak makan dan minum sembarangan bisa batuk, dan sebagainya.
Ini terdengar sepele, namun anak disabilitas intelektual sangat membutuhkan pemahaman seperti ini.
Selain sebab akibat, anak juga perlu diajarkan untuk mengidentifikasi benda dan istilah-istilah di sekitarnya. Seperti menjelaskan mana yang disebut ayah, mana bunda, mana kucing dan seterusnya.
Ketiga, aspek komunikasi, anak-anak dengan disabilitas intelektual dan down syndrome perlu dilatih dalam berkomunikasi supaya dapat terhubung dengan apa yang kita instruksikan.
Misalnya ketika dipanggil namanya menyahut, mengajarkan cara meminta, menyampaikan apa yang sedang dirasakan dan sebagainya.
Hal ini supaya anak dapat melakukan kontak mata dengan orang yang berbicara dengan dia dan dapat fokus terhadap apa yang disampaikan.
Kelima yaitu aspek sosialisasi, supaya anak dapat berteman dan bermain dengan anak seusianya, dan bermain dengan mengetahui aturan.
Dengan menstimulasi dari aspek sosialisasi ini diharapkan anak dapat meminta saat tertarik dengan mainan anak lain dan tidak merebutnya.
Anak juga dapat tertawa di waktu yang tepat, misalnya saat melihat hal yang lucu, bukan saat temannya jatuh atau terluka.
Keenam yaitu aspek kontrol emosi, anak dengan disabilitas intelektual pada banyak kasus memiliki kesulitan untuk mengungkapkan apa yang dia rasa, apa yang dia pikirkan, dan apa yang dia mau.
Ditambah lagi mereka juga biasanya akan mengalami speech delay atau terlambat bicara. Sehingga ia tidak dapat mengungkapkan apa yang dia inginkan dan apa yang ada di pikiran dan hatinya.
Akhirnya mereka akan mudah tantrum dan kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Maka dari itu perlu untuk mengajarkan regulasi emosi pada anak-anak disabilitas intelektual.
Meskipun sebenarnya tidak hanya anak dengan kondisi khusus saja yang perlu untuk diajarkan untuk meregulasi emosinya, karena pada dasarnya setiap anak perlu untuk diajarkan meregulasi emosinya.
Terakhir, aspek ketujuh yaitu tentang kepatuhan anak, bagaimana anak dapat bersikap yang baik di rumah, di tempat umum, atau dengan temannya.
Hal tersebut merupakan aspek-aspek perilaku yang memang harus diperhatikan terutama dengan anak disabilitas intelektual.