Kesehatan Mental – Kekerasan seksual pada anak sedang marak terjadi akhir-akhir ini. Dalam rangka Hari Anak Nasional Generos menggelar seminar parenting bertajuk “Edukasi Seksual yang Tepat untuk si Kecil.“
Dalam kesempatan tersebut salah satu pembicara, Komisioner KPAI Retno Listyarti mengungkapkan kekerasan seksual pada anak terus terjadi, terutama di lingkungan pendidikan. Betapa miris jika melihat kenyataan bahwa seharusnya tempat pendidikan menjadi tempat yang aman untuk anak-anak justru menjadi ‘neraka’ bagi mereka.
Daftar Isi
Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia
Ia menyebutkan, terhitung dari Januari-Juli tercatat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di tiga sekolah (25%) dalam wilayah kewenangan KemendikbudRistek dan 9 lembaga pendidikan (75%) di bawah kewenangan Kementerian Agama RI. Catatan tersebut merupakan hasil pemantauannya di media massa berdasarkan kasus yang keluarga korban sudah melaporkannya ke pihak kepolisian.
Komisioner KPAI yang juga telah lama berkecimpung di dunia pendidikan itu meyakini bahwa lemahnya sistem pengawasan dan pengaduan membuat pelaku memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan kejahatan seksual kepada anak-anak. Sebagai contoh di lingkungan pendidikan, terutama lembaga pendidikan yang menerapkan sistem asrama. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa lembaga pendidikan yang menerapkan sistem asrama menjadi ‘lahan basah’ bagi mereka untuk melancarkan aksinya.
Penyebab Korban Kekerasan Seksual Sukar Ungkap Suara
Di sekolah dengan asrama biasanya siswanya dilarang untuk membawa ponsel dan juga pergi keluar asrama jika belum ada hari libur. Dengan demikian maka anak tidak dapat terkoneksi Dengan orang tuanya maupun dunia luar. Sehingga ia akan kesulitan untuk speak up jika ia mendapatkan kekerasan. Tidak hanya itu, biasanya mereka takut karena mendapatkan ancaman dari pelaku yang notabene merupakan petinggi dari lembaga pendidikan itu sendiri. Dengan adanya kesempatan ini maka pelaku dapat dengan leluasa melancarkan aksi kejinya.
Tidak hanya itu, menurut Retno korban kekerasan seksual itu tidak mendapatkan advokasi untuk mengatasi traumanya. Terlebih bagi mereka yang berada di daerah dengan kondisi keuangan orang tua yang pas-pasan. Hal itu karena untuk berkonsultasi ke psikolog membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Maka dari itu ia menyarankan agar terdapat minimal satu psikolog klinis di setiap Puskesmas. Jika sudah ada psikolog klinis di Puskesmas maka korban-korban yang berada di daerah juga dapat terjangkau.
Pencegahak Kasus Kekerasan Seksual di Masyarakat
Jauh sebelum itu, untuk mencegah agar kasus ini tidak semakin meluas maka membutuhkan banyak pihak untuk bergerak. Salah satunya adalah dari pemerintah dengan memberikan regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap lembaga sekolah. Selain itu, penting juga bagi orang tua untuk memberikan edukasi seksual kepada anak-anaknya sejak dini. Mengingat kasus pelecehan seksual dapat terjadi di mana-mana, termasuk di lingkungan keluarga.
“Makanya penting untuk mengajarkan kepada anak, misalnya tidak membuka baju di depan orang lain meskipun itu pamannya sendiri dan juga ajarkan untuk selalu menutup kamar mandi ketika buang air kecil maupun buang air besar,” tuturnya di Baparapi Kopi, Tangerang Selatan, Sabtu (23/7).
Dalam kesempatan ini hadir pula dokter spesialis anak dr. Fatimah Hidayati, Sp.A yang memaparkan pentingnya memberikan edukasi seksual sejak dini kepada anak. Sebagai contoh yang paling kecil yaitu memberikan pengetahuan yang benar tentang kemaluan laki-laki dan perempuan. Yaitu dengan menyebutkan nama kemaluan dengan benar, bukan dengan istilah-istilah yang justru membingungkan anak.
Selain itu juga mengedukasi kepada anak bahwa organ kemaluan merupakan bagian tubuh yang wajib untuk ditutup. Ia sepakat dengan Retno bahwa anak perlu diajarkan agar tidak sembarangan membuka baju di depan orang lain. Sehingga anak akan tahu bahwa organ kemaluan itu tidak boleh dilihat oleh orang lain.
Selain itu orang tua juga harus menjadi pendengar yang baik bagi anak. Sehingga ketika anak merasa mengalami pelecehan seksual akan segera terbuka dengan orang tuanya. Selain itu penting juga untuk mengajak bicara anak saat ia mendapat masalah, bukan justru menghakimi ketika anak memulai bercerita tentang masalah yang dialaminya. Dengan demikian ia juga merasa dilibatkan dalam memecahkan masalahnya.