Ayah dan Bunda bisa memberikan stimulasi kepada si Kecil sejak dalam kandungan, yaitu dengan sering mengajaknya berbicara seolah sedang bercengkerama, memperdengarkan musik klasik, juga memperdengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an maupun membacakan buku. Kemudian setelah si Kecil telah lahir di dunia maka Ayah dan Bunda dapat melanjutkan rutinitas baik tersebut.
Namun tidak hanya itu saja, ternyata ada cara yang juga efektif untuk menstimulasi kemampuan bicara si Kecil sejak bayi. Lalu bagaimana cara menstimulasi bayi saat ia belum mampu memahami sepenuhnya ucapan orang-orang di sekitarnya? Berikut caranya.
Menstimulasi Bicara Bayi dengan Menirukan Cooing
Salah satu mengajarkan kemampuan bicara bayi adalah dengan menirukan cooing bayi. Ya, bayi yang belum dapat berbicara biasanya gemar berceloteh, biasanya setelah berusia 2 bulan bayi akan berceloteh. Pada saat inilah bayi sedang belajar berbicara, meskipun tidak langsung mengutarakan kata-kata yang dapat dimengerti.
Ayah dan Bunda pasti sudah mengetahui bagaimana tahapan perkembangan bicara pada anak. Cooing atau ocehan bayi merupakan salah satu tahapan bicara yang penting pada bayi yang menandakan bahwa ia sedang belajar untuk berbicara. Terkadang orang dewasa hanya menganggap bahwa cooing pada bayi adalah sesuatu yang menggemaskan saat didengar namun bukan hal yang penting dan tidak ada artinya. Tapi sesungguhnya pada cooing tersebut bayi juga ingin menyampaikan sesuatu, loh.
Saat bayi melakukan cooing itu artinya bayi sedang ingin berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Bisa dikatakan cooing merupakan bahasa bayi. Mungkin kita pernah mendengar saat sesama bayi sedang bersama dan mereka melakukan cooing seolah sedang berkomunikasi. Meskipun kita tidak memahami maksud ocehan para bayi tersebut, namun sebenarnya mereka memang sedang membicarakan sesuatu, dan mereka akan memahami satu sama lain.
Di sisi lain, biasanya orang dewasa akan mengeluarkan suara yang tak berarti saat menenangkan bayi, biasanya ini dilakukan saat menggendong bayi atau saat bayi sedang menangis. Tidak peduli bahasa yang digunakan setiap orang di dunia ini, namun saat menghibur bayi pasti mereka akan mengeluarkan suara yang tak berarti yang mirip dengan cooing yang dilakukan bayi, seperti “ssssttt”.
Menurut Daniel J. Siegel, MD, penulis buku The Whole Brain Child, hal itu karena pengaruh cara kerja otak pra-bahasa manusia, yaitu selama dua sampai tiga tahun pertama kehidupan. Menurutnya pada saat itu manusia lebih dominan menggunakan otak kanan dalam aktivitas. Termasuk dalam pertumbuhannnya, otak kanan lebih dahulu berkembang ketimbang otak kiri.
Saat mencoba berkomunikasi dengan bayi sebaiknya orang dewasa memposisikan diri sebagai seorang yang memahami apa yang sedang dikatakannya. Sebaiknya gunakan kalimat yang pendek dan sederhana. Lalu sampaikanlah dengan nada yang lebih tinggi tapi bukan membentak, dan dengan intonasi yang dilebih-lebihkan.
Jangan lupa memperhatikan mata bayi saat ia sedang mengoceh atau cooing, agar ia merasa bahwa ia didengar dan dihargai. Apresiasi sederhana seperti itu bisa membuat semangatnya bertambah untuk terus belajar berbicara.
Siegel menyebutkan bayi adalah ‘manusia belahan (otak) kanan,’ jadi jika orang tua juga ikut menggunakan bahasa yang sama maka akan bisa menciptakan komunikasi yang efektif dengan bayi. Ia mengibaratkan berbicara dengan bahasa nonverbal yang menggunakan otak kanan dengan bayi seperti mengirimkan sinyal kepadanya, dan bayi akan meresponsnya dengan memberikan sinyal balik.
Menurut Siegel seperti dikutip dari WebMD, dengan sinyal tersebut mengisyaratkan bahwa lawan bicara (orang tua) sudah memahami si Kecil, dan itu membuat si Kecil merasa telah terhubung dengan lawan bicaranya. Karena anak-anak dominan pada otak kanan itulah yang menjadi alasan mengapa ketika kita mengajak berkomunikasi dengan bayi dan balita kita harus menunjukkan sikap se-ekspresif mungkin. Gestur tubuh yang berulang-ulang mampu meningkatkan keterampilan bahasa dan perkembangan kognitif mereka. Dan perilaku meniru ocehan bayi itu seperti memvalidasi perasaan mereka bahwa ia didengar.
Namun perlu diingat bahwa itu tidak berlaku ketika sudah balita, saat anak sudah belajar mengucapkan kata-kata yang berarti. Orang dewasa sebaiknya tidak menirukan kata-kata anak yang cadel, seperti “mamam” langsung saja kita sebutkan “makan” atau “cucu” langsung kita sebut “susu” saja.
Tujuannya jelas, yaitu untuk mengajarkan kata yang benar kepada anak agar dia bisa berusaha belajar menyebutkan kata yang sebenarnya. Meskipun anak belum bisa mengucapkan kata dengan benar tapi setidaknya dia sudah tahu seperti apa kata tersebut diucapkan dengan benar. Sehingga dia akan berusaha untuk mengucapkannya dengan benar.
Kendati demikian kita tidak perlu berkali-kali meluruskan saat anak masih mengucapkan kata yang belum tepat. Hal itu bisa membuat anak minder dan enggan untuk belajar berbicara. Cukup saat kita berkomunikasi dengannya kita menyebutkan kata tersebut dengan benar dan biarkan jika anak masih belum bisa mengucapkan kata yang benar. Setidaknya dia sudah mengetahui mana yang benar dan suatu saat nanti akan mengucapkan kata yang benar tersebut.
Kuncinya, anak akan bisa belajar berbicara dengan cepat jika sering diajak berkomunikasi oleh orang-orang di sekitarnya. Variasikan tema percakapan agar perbendaharaan kosa kata anak semakin kaya dan anak memiliki wawasan yang luas. Jangan pernah menganggap bahwa anak tidak akan paham dengan apa yang kita bicarakan. Kita hanya perlu membicarakannya dengan menggunakan kalimat sederhana dan mudah dimengerti.
Stimulasi Bicara dengan Mengajarkan Bahasa Isyarat pada Bayi
Bahasa isyarat bayi ditemukan pertama kali pada awal 1980-an oleh seorang professor psikologi dari University of California, Linda Acredolo, Ph.D, dan juga professor tumbuh kembang anak dari California State University, Susan Goodwyn, Ph.D. pada saat itu Acredolo memiliki seorang anak yang berusia kurang dari setahun.
Ia mengamati bahwa saat melihat bunga, anaknya tersebut akan mulai menunjuknya, mengerutkan hidung dan mengendusnya. Berawal dari penasaran akan tingkah anaknya tersebut akhirnya mereka mengembangkan bahasa isyarat untuk bayi.
Mungkin banyak orang tua yang kewalahan saat melihat bayinya menangis dan terus menangis tanpa mengetahui apa yang diinginkannya. Seperti yang kita ketahui, pada usia 0-8 bulan bayi belum bisa mengucapkan kata yang berarti. Mereka hanya melakukan cooing dan babbling saja, yang menurut orang dewasa tidak memiliki makna tertentu. Sebagian orang tua mungkin akan membiarkannya dan tetap menunggu, toh nantinya sang anak juga akan bisa berbicara jika sudah waktunya.
Sebenarnya ada cara yang cukup ampuh agar bayi tetap bisa mengutarakan keinginannya, yaitu dengan bahasa isyarat bayi tersebut. Dan ini juga menjadi stimulasi bicara yang baik untuknya. Akan tetapi muncul kekhawatiran, apakah jika bayi diajarkan bahasa isyarat tersebut akan membuatnya terlambat bicara.
Sebelum mengembangkan bahasa isyarat tersebut Dr. Acredolo dan Dr. Goodwyn melakukan penelitian besar yang disponsori oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH) Amerika Serikat. Hasilnya benar-benar di luar dugaan, bahwa ternyata bayi yang telah diajarkan bahasa isyarat akan memiliki keterampilan bahasa verbal lebih cepat dari rata-rata anak balita biasanya.
Penelitian menemukan bahwa bayi yang diajari bahasa isyarat memiliki kosakata yang lebih banyak saat ia menginjak usia 12 bulan dibandingkan mereka yang tidak. Hal itu menurut Dr. Goodwyn karena saat bayi sedang menggunakan bahasa isyarat maka orang dewasa di sekitarnya akan lebih banyak berbicara untuk mendefinisikan apa yang sedang diinginkan si bayi. Maka dari itu tidak berlebihan jika mengajarkan bahasa isyarat kepada bayi merupakan salah satu cara stimulasi bicara yang efektif.
Tidak hanya itu, dalam penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa bayi yang belajar bahasa isyarat akan memiliki IQ yang tinggi. Sebagai salah satu objek penelitian, seorang ibu muda dari Tampa, Florida, Rebecca Yoder mengatakan bahwa ia mulai mengajarkan bahasa isyarat kepada putrinya, Lauren, sejak berusia enam bulan. Hasilnya memuaskan, Lauren tidak menunjukkan tantrum yang berlebihan saat menginginkan sesuatu.
“Lauren menjadi tidak terlalu mudah menangis dan tidak mudah mengamuk. Jika dia menginginkan mainan yang jauh dari jangkauannya, dia bisa memberi tanda bahwa dia membutuhkan bantuan, alih-alih menangis dan rewel,” ujar Yoder, seperti dikutip Parents.com.
Kira-kira pada usia yang sama mereka mulai menggunakan gerakan untuk menunjukkan sesuatu yang mereka inginkan. Seperti mengulurkan tangannya ketika meminta untuk digendong atau menunjuk sebuah benda yang ingin ia ambil. Saat anak mulai menggunakan tangannya untuk mengambil sesuatu atau memasukkan tangannya ke mulut atau si bayi mulai memperhatikan tangan orang tua atau pengasuhnya, saat itulah kemungkinan bayi siap untuk diajarkan bahasa isyarat.
Bahasa isyarat yang dikembangkan Dr. Acredolo dan Dr. Goodwyn tersebut menggunakan standar bahasa isyarat yang berasal dari American Sign Language (ASL) yang biasa digunakan oleh tuna rungu dan juga beberapa modofikasi yang ramah bayi. Namun Ayah dan Bunda bisa menggunakan gerakan sederhana untuk memulai mengajari bahasa isyarat untuk si Kecil sebagai awal stimulasi bicaranya.
Ayah dan Bunda tidak perlu menyisihkan waktu khusus untuk mengajari bahasa isyarat untuk si Kecil. Cukup melakukannya saat mengajak berbicara si Kecil, katakanlah dengan suara yang jelas, lantang dan intonasi yang berbeda-beda lalu ditambah dengan gerakan isyarat.
Ayah dan Bunda perlu melakukannya berulang-ulang sampai si Kecil berhasil memahami dan menirukan bahasa isyarat tersebut. Jangan mengajarkan terlalu banyak kata dalam sekali belajar. Sedikit demi sedikit namun terus diulang-ulang.
Jika si Kecil sudah bisa menerapkan beberapa kata dengan menggunakan gerakan tangannya maka Ayah Bunda dikatakan telah berhasil mengajarkannya dan dapat dilanjutkan untuk kata-kata selanjutnya. Ayah dan Bunda harus terus melakukannya setiap hari dan mencari peluang untuk menyebutkan kata-kata tersebut setiap harinya.
Bayi belajar melalui pengulangan. Jadi, jika Ayah dan Bunda bertanya kepada si Kecil apakah dia lapar, buatlah isyarat “makan” beberapa kali, dan ajukan pertanyaan dengan cara yang berbeda. Seperti “Apakah kamu ingin makan?” “Mau makan?” dan seterusnya. Jika Ayah Bunda membuat isyarat untuk suatu objek, arahkan ke objek tersebut setelahnya, ucapkan namanya, lalu ulangi prosesnya setidaknya dua kali.
Perlu diingat bahwa memberikan stimulasi bicara kepada sang buah hati memang membutuhkan kesabaran. Terus lakukan pengulangan sampai apa yang Ayah dan Bunda ajarkan kepada si Kecil dapat ia tirukan. Jika si Kecil telah mampu menirukannya, maka berbahagialah karena itu artinya Ayah dan Bunda telah berhasil menstimulasi bicara si Kecil. Jangan bosan untuk terus memberikan stimulasi bicara agar si Kecil memiliki kemampuan bicara dan bahasa yang baik kedepannya.